Kamis, 25 Juni 2015

Curhat Edisi Pengambilan Keputusan

Saya tahu manusia tak ada yang sempurna. Bahkan jika menengok sejarah manusia pertama yang diciptakan oleh Tuhan, Adam dan Hawa, mereka berdua melakukan kesalahan besar yang mengakibatkan keturunannya harus menjalankan kehidupan di Bumi. Bisa dibayangkan apabila Adam dan Hawa, nenek moyang manusia tidak melakukan demikian. Keturunannya kekal hidup di surga. Tempat yang digambarkan sangat indah. Kita bisa mendapatkan sesuatu yang diinginkan tanpa bersusah payah. Sangat menyenangkan.

Pernah waktu kecil saya dan teman-teman membahas soal keindahan surga. Tentunya anak kecil dengan sifat polosnya. Kami membayangkan surga seperti yang diceritakan oleh guru spiritual kami di sekolah. Seperti para lelaki akan dikelilingi oleh bidadari dan kita akan menemukan sesuatu yang tidak ditemukan di dunia. Di akhir cerita, guru mengatakan hanya orang-orang tertentu yang akan menempati surga. Merekalah orang-orang yang menjalankan perintah dan meninggalkan larangan dari Tuhan. Dengan hati tulus, saya mohon maaf apabila diantara pembaca ada yang tidak mempercayai adanya surga.

Secara pribadi, saya mengaku tidak terlalu banyak mengetahui tentang ilmu dan pengetahuan. Apalagi tentang ilmu dan pengetahuan tentang agama. Bidang yang lain juga. Bahkan saya tidak pernah menjuarai di kelas selama sekolah. Layaknya tulisan ini kurang menarik untuk dibaca karena penulis memang tidak punya banyak ilmu dan pengetahuan yang dibagikan. Tulisan ini dibuat saat saya sedang mempunyai tugas menyelesaikan skripsi. Saya sempatkan menulis---lebih tepatnya curhat, lewat tulisan ini.
Saya mengalami kesulitan dalam melanjutkan menulis skripsi. Saya mempunyai dosen pembimbing yang terkenal jor-joran. Maksud jor-joran adalah, saya merasa kurang dibimbing. Tulisan saya di skripsi tidak pernah dicorat-coret untuk direvisi. Sampai sekarang---saya selesai penelitian, saya kesulitan dalam menyelesaikan Bab IV. Bingung dan tak tahu harus bagaimana. Dosen pembimbing yang dari awal sudah menyarankan saya untuk konsultasi dengan dosen yang lain.
Alasannya, dosen pembimbing saya kurang menguasai judul skripsi yang saya ambil. Saya sudah konsultasi dengan dua dosen yang lain. Hasilnya, masing-masing dosen mempunyai jawaban yang berbeda-beda. Satu dosen mengatakan judul tidak cocok, satu dosen lain mengatakan cocok. Setelah itu, saya bingung. Sedangkan dosen pembimbing yang sudah menerima Surat Keputusan dari dekanat mengatakan kepada saya kalau saya harus cepat mengambil keputusan. Saya mengambil keputusan untuk melanjutkan judul skripsi yang telah aku ajukan. Dosen pembimbing saya menerimanya. Hasilnya, saya dibebaskan untuk menentukan rencana penelitian.

Nyata!

Proposal skripsi saya tidak ada yang direvisi. Dosen pembimbing saya hanya menanyakan beberapa hal tentang rencana penelitian. Seperti variabel penelitian, metode penelitian, dan instrumen penelitian. Setelah saya jelaskan semuanya yang ada pada tumpukan kertas HVS ukuran A4, dosen pembimbing saya menerima penjelasan tanpa ada yang direvisi. Akhirnya saya diizinkan untuk penelitian.

Selama penelitian, saya melakukan tahap demi tahap penelitian yang tertulis di Bab III. Saya anggap apa yang sudah saya tulis dalam Bab III adalah benar. Tapi setelah selesai penelitian, saya menemukan kejanggalan. Saya sulit untuk menganalisis data. Saya baca buku yang dulu pernah saya baca, tentang teknik analisi data. ternyata benar, saya salah dalam menggunakan teknik analisis data seperti yang tertulis di Bab III. Maka saya merevisi sendiri apa yang menurut saya salah dengan apa yang menurut saya benar---di Bab III. Sampai sekarang saya masih merasa bingung dan selalu menemukan beberapa kesulitan.

Saya mengalami hal tersebut ternyata berdampak pada banyak hal. Contohnya saya selalu tidak fokus saat beribadah---shalat. Saya selalu kepikiran. Sapa pun sering tidak nyambung saat sedang mengobrol. Karena saya selalu memikirkannya.

Saya menyadari saya orang yang pasif. Seharusnya saya berkonsultasi dengan orang yang lebih mengerti. Tapi dalam hati, saya pantang melakukan. Saya ingin mencari sesuatu dengan sendiri. Ini termasuk karakter, sepertinya. Oh, sebenarnya saya malas melakukan.

Saya mengerti, jika masalah tersebut membutuhkan waktu yang tidak sedikit karena membutuhkan pikiran yang ekstra dan mendalami tentang apa yang saya tulis dalam skripsi. Saya ingin memecahkan masalah itu sendiri. Maksud saya dengan dosen pembimbing. Dari hati paling dalam, saya ingin sekali berkonsultasi dengan dosen pembimbing. Tapi balik lagi, saya punya traumatik dengan dosen pembimbing yang terkesan jor-joran. Sudah 2 minggu lebih saya berkutik pada menganalisis data yang akan ditulus di Bab IV. Saya belum punya rencana harus bagaimana besok--besoknya lagi---dan besoknya lagi selain saya harus memikirkan dan menyelesaikan Bab IV.

Mungkin bagi pembaca ini adalah masalah yang sangat mudah diselesaikan dengan melakukan beberapa solusi. Sekarang itu! Ya, saya sedang mencari solusi yang tepat untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, saya curhat lewat tulisan ini. Terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini.

Mungkin saja, dengan cara yang seperti ini, dengan mudah saya menemukan beberapa ide. Saya  pernah membaca artikel di internet, dengan bisa menulis tentang kejadian masa lampau, maka akan bisa menemukan dimana letak kejanggalan dari permasalahan. Memang sih, selama saya menulis ini, saya mengingat-ingat dan memikirkan apa penyebab dari munculnya masalah yang sedang dirasakan.

Dalam hal seperti ini, saya menemukan seperti saya telah membuat kesalahan besar yang tetap melanjutkan dengan judul skripsi saya. Judul yang tidak sesuai dengan bidang kajian dari dosen pembimbing. Dampaknya, seperti Adam dan Hawa, saya terjerumus ke dalam situasi yang tidak menyenangkan. Seharusnya saya mengikuti pendapat dosen yang mengatakan judul skripsi saya  tidak cocok. Mungkin kata tidak cocok disini adalah tidak cocok apabila yang menjadi dosen pembimbing-nya adalah dosen pembimbing yang sudah mendapat Surat Keputusan untuk membimbing skripsi saya.

Disinilah saya merasa sebagai manusia yang tidak sempurna. Oh maksudnya, memang dari dulu saya manusia yang tidak sempurna. Tetapi saya merasa beruntung dilahirkan oleh Tuhan menjadi makhluk yang sempurna daripada ciptaan lainnya.

Yang menjadi pertanyaannya adalah : sebenarnya kita, manusia, termasuk Adam dan Hawa, hidupnya dijalankan sepenuhnya oleh diri sendiri dari insting dan perasaannya sebagai manusia atau hanya takdir Tuhan yang menaruhnya ke dalam sistem  kehidupan manusia-manusia di dunia?

Kamis, 18 Juni 2015

Kuasa Tuhan untuk Iam's

Berawal dari bulan April 2015, saat saya masuk rumah sakit karena infeksi mulut. Dua gigi geraham bungsu harus dicabut melalui operasi. Sebelah kanan dan kiri.

Sedikit cerita tentang dua gigi geraham yang tercabut. Tak perlu dijelaskan bagaimana rasa sakit gigi. Setiap orang pernah merasakan sakit gigi. Bila sampai dioperasi, artinya sakit yang melebihi sakit gigi biasa. Penyebab kenapa sampai dioperasi, karena gusi tidak menyesuaikan dengan gigi geraham bungsu yang tumbuh. Akhirnya gusi membengkak. Dari luar, pipi yang terlihat bengkak. Kata dokter infeksi.

Saat sedang sakit, saya memposting foto-foto pra operasi dan pasca operasi di Instagram (Instagram.com/iam_irkham). Yang terpikir pada saat itu adalah, menyampaikan kabar dan informasi tentang saya akan dioperasi dan sudahdioperasi.

Setiap foto saya beri caption berisi kata-kata membentuk kalimat yang melebihi sisi foto Instagram. Kata-kata yang sangat panjang. Saya pikir mungkin banyak pengikut saya yang jengkel dengan caption yang seperti itu. Atau mereka sangat jengkel dengan saya memposting foto-foto pra dan pasca operasi. Mereka pikir : Lebay. Atau semacamnya.

Ya. Saya berpikir seperti itu. Kenapa? Karena saya ditegur oleh teman-teman dekat saya karena caption-nya (tentu dan fotonya). Saya sempat punya pikiran untuk menghapus foto-foto tersebut. Tapi saya tidak (mungkin belum) menghapusnya sampai sekarang. Paling tidak selama tulisan ini dimuat, dan di Instagram saya masih ada foto tersebut, saya masih punya pikiran  : Informasi tentang jangan menyepelekan sakit gigi itu penting.

Saya tahu, yang dimaksud teman saya adalah untuk tidak terlalu berlebihan. Jangan terlalu berlebihan dalam membuat caption lebih utamanya.

Setelah satu bulan dari waktu saya ditegur, saya mencoba belajar menulis. Bukan untuk mendapat pengakuan (walau hati mengharapkan). Yang utama adalah untuk melatih dalam pemilihan kata dalam berbicara. Ya, saya mencoba dengan kebiasaan menulis menggunakan bahasa Indonesia. Saya orang yang kurang percaya diri ketika harus berbicara. Terkadang saya salah memilih kata. Penggunaan bahasa sehari-hari dengan bahasa Indonesia sering tercampur ketika saya harus berbicara. Kalau orang ngapak menyebutnya "keceplosan". Saya ingin belajar menulis walau sangat jarang membaca dan menulis.

Ternyata dampak dari teguran dan belajar merangkai kata dan kalimat, maka saya membuat blog. Makanya, dibawah judul blog saya beri tulisan "Tidak membuatmu menambah ilmu, sure" yang saya tujukan untuk pengunjung blog. Mungkin belajar menulis bisa dilakukan tanpa membuat blog. Tapi seperti jaman sekarang, menulis digital sudah dilakukan oleh banyak orang. Dan orang bebas untuk menulis apa saja. Karena itu, saya mulai melakukannya.

Hobi baru, mungkin. Tidak ada keyakinan untuk tulisan saya layak mendapat kredit apapun. Melakukan langkah-langkah menulis sesuai yang diajarkan sewaktu SMA pun tidak. Saya orang yang kurang memandang formalitas walau saya dituntut menjadi orang yang lebih formalitas karena status mahasiswa. Skripsi yang sedang dibuat pun tulisannya awur-awuran.

Ketika saya sedang menulis untuk blog, saya berpikir, "Ini adalah kuasa Tuhan" karena saya menulis berawal dari kekosongan.

btw, kalau mau tahu foto di Instagram yang dimaksud diatas, klik ini kemudian coba cari laki-laki yang pakai baju operasi.

Kamis, 11 Juni 2015

Surat untukmu...

Dear, pembaca...
Kalau isi surat ini mengandung kalimat ambigu, maafkan lah. Sengaja ku lakukan untuk memberi kesan yang menyembunyikan untuk umum. Sesungguhnya isi surat ini hanya untuk seseorang. Sangat tidak yakin surat ini akan dibaca langsung untuk orang tersebut. Tapi terlalu gengsi untuk ku sampaikan langsung. Oleh karena itu, semoga akan ada orang yang menyampaikan surat ini kepadanya.

Dear, kamu...
Aku ingat di tahun 2010. Waktu itu aku kecelakaan motor. Aku harus dirawat selama 6 hari karena gegar otak ringan. Sepulang rumah sakit, aku marah padamu. Aku merasa kamu tidak adil. Masalah sepele. Aku baru sadar waktu itu aku labil. Sangat labil malah. Sangat egois. Aku lebih mementingkan keperluan yang membuatku terlihat kekinian pada waktu itu. Kamu membalas dengan kemarahan. Kamu diam padaku selama beberapa hari. Begitu pun aku. Aku lupa bagaimana akhirnya kita baikan.

Dua bulan kemudian hari lebaran tiba. Seperti biasa, hari lebaran digunakan untuk saling berma'afan. Hari lebaran sebelumnya, aku tak pernah memikirkan segala dosa yang aku buat di hari-hari yang lalu. Aku pun tak pernah mengucapkan kata ma'af pada hari lebaran. Tapi hari lebaran itu aku sangat berbeda. Saat aku bersalaman denganmu, aku langsung memelukmu. Aku menangis. Aku menangis memelukmu. Aku mengeluarkan kata ma'af. Berulang-ulang aku meminta ma'af. Kamu mengeratkan pelukanmu. Kamu meng-iya-kan kata ma'af-ku. Aku ingat, aku punya dosa yang sangat besar padamu. Dosa yang seharusnya tidak pernah aku lakukan. Dosa karena sifat egosentris-ku padamu. Sampai sekarang aku masih ingat dosa itu. Mungkin takkan ku lupakan.

Dua bulan kemudian, kamu pergi meninggalkan-ku. Kamu pergi ke tempat yang sangat jauh. Tempat yang masih ada di dunia. Ku dengar tempat itu sangat berbahaya. Tempat yang selalu ada kematian setiap tahunnya. Tapi tempat itu adalah salah satu tempat yang ingin kamu kunjungi. Memang, kamu pergi tidak sendiri. Kamu pergi bersama teman-temanmu. Tapi aku tetap khawatir. Aku tak mau kehilanganmu. Aku tak mau jauh darimu.

Saat di rumah-mu, saat kamu berpamitan dengan orang-orang terdekatmu, kamu menghampiriku. Kamu menangis padaku. Kamu memberiku banyak pesan untuk waktu selama ditinggalkan-mu. Itu membuatku bertambah sedih. Aku ikut menangis. Kita sempat berpelukan di depan orang banyak. Aku tak peduli. Kita berpelukan karena kita saling menyayangi.

Selama ditinggalkanmu, kamu memberiku banyak kewajiban. Sesuatu yang tidak pernah ku rasakan sebelumnya. Termasuk aku harus menjaga diri karena jauh darimu untuk waktu yang lama bagiku. Walaupun kamu sedang jauh, hampir setiap hari kamu mengabarkan keadaanmu. Kamu selalu menceritakan tempat yang menurutmu indah itu. Sempat kamu berpesan untuk aku mengunjungi tempat itu dalam hidupku. Setiap hari pula aku selalu mendoakan keselamatanmu. Berharap kamu kembali dengan keadaan tubuh yang semakin sehat. Selama aku ditinggal, aku merindukan kebersamaan denganmu. Aku berubah jadi orang yang selalu merindu. Sangat rindu. Tak ada kata-kata lain untuk menggambarkan keadaanku waktu itu, kecuali kata "rindu".

Akhirnya selama sebulan setengah kamu pulang dengan selamat. Tidak ada kesan yang begitu indah untuk diceritakan saat kamu pulang dari tempat itu. Aku hanya bersyukur, akhirnya kamu pulang dengan tubuh yang semakin gemuk. Aku bersyukur, kamu telah kembali untuk bersama-sama lagi secara dekat. Aku tak menangis, karena kamu tak buat ku menangis.

Hal yang sama terjadi setahun kemudian. Tapi bukan kamu yang meninggalkan-ku. Aku lah yang meninggalkan-mu. Aku mengabarkanmu kalau aku diterima kuliah. Aku memberitahumu kalau kita akan berpisah di waktu yang lama. Tapi kamu terlihat sangat bahagia. Mungkin lebih tepatnya kamu bangga padaku. Bahkan kamu bersedia mengurus segala keperluan untukku di tempat yang ku sebut kota perantauan. Bukan hanya itu, kamu bahkan bersedia mengantarkan-ku ke kota perantauan. Tidak ada kesedihan di wajahmu.

Hari pertama aku di kota perantauan, aku sangat kesepian. Belum mengenal banyak teman di kota perantauan. Orang yang pertama ku rindu adalah kamu. Sepulang setelah mengantarkan-ku, kamu langsung menelfon-ku. Kamu langsung menanyakan keadaanku, kamu menanyakan teman-temanku. Sangat menggambarkan betapa sayang-nya kamu padaku.

Sekarang aku sudah semester 8. Selama 8 semester pula kamu yang selalu memberi ku semangat. Kamu yang selalu perhatian tentang kehidupanku di kota perantauan. Bahkan saat aku sakit, kamu rela datang ke kota perantauan, memintaku untuk pulang ke rumah agar kamu bisa merawatku.

Aku tak mengerti hatimu mengandung apa. Kamu sangat begitu sayang padaku. Saat aku jujur kalau aku mulai merokok, kamu tidak marah, padahal itu sangat dilarang olehmu. Ma'afkan aku, aku melanggar perintahmu. Tapi ku tahu, kamu kecewa. Untuk itu, aku akan selalu ingat, bahkan tulisan ini mungkin akan jadi pengingat. Aku harus membalas kasih sayang yang pernah kamu berikan.

Untukmu, yang hari ini berulang tahun ke 47 tahun. 11 Juni 1968. I love you...

Kamis, 04 Juni 2015

Manusia dan Kita Sebagai Mahasiswa

Halo June, please be awesome.

Banyak (atau beberapa) teman yang membuat pm di bbm seperti kalimat diatas. Ketika saya bangun tidur, penunjuk waktu di smartphone sudah 1 Juni 2015, waktu itu. Beberapa teman saya yang membuat pm demikian akan diwisuda bulan Juni di tahun ini. Lebih tepatnya teman satu kampus. Secara tidak langsung, saya mengucapkan kepada seluruh kolega saya, selamat atas keberhasilan melewati tahap perkuliahan. Semoga selalu berhasil melewati tahap-tahap selanjutnya. Amin...

Berbicara tentang wisuda, itulah tujuan dari masa kuliah. Itu pendapat saya. Kalau ada yang punya pendapat tentang tujuan kuliah bukan untuk diwisuda, terserah. Anda yang untung dan saya berusaha tak merasa rugi.

Saya orang yang terusik jika ada orang lain mendoktrin tujuan kuliah. Berbagai macam teori mereka keluarkan, berbagai macam aturan mereka sebutkan, berbagai macam kata-kata mereka atur untuk memberi kesan positif dari pendapatnya. Tidak salah memang, karena saya lah yang sebenarnya salah.

Selama saya kuliah, sempat ada perdebatan di kelas dengan tema "kenapa kuliah?"

Salah satu dosen membuka pertanyaan demikian, dan dosen mempersilahkan mahasiswa untuk mengeluarkan pendapatnya. Berbagai macam pendapat teman-teman keluarkan. Tak sedikit pula teman-teman yang lebih memilih diam. Salah satunya saya. Saya menyadari, jawaban saya tak semulia teman-teman. Kalau masih ada pertanyaan seperti itu untuk saya diluar forum seperti di kelas, sampai saat ini jawaban saya cuma satu : mewujudkan impian Mama saya.

Yah, sampai sekarang tidak ada jawaban semulia "mewujudkan impian Mama saya" dari saya. Entah kenapa, belum ada pemikiran jawaban "untuk memajukkan bangsa Indonesia, merubah kehidupan primitif bangsa Indonesia, dan lain sebagainya"

Kalau ada yang penasaran apa impian Mama saya? Kalian boleh bertanya langsung kepada saya. Bisa hubungi lewat Twitter @iam_irkham. Karena saya akan mengajak Anda untuk duduk menikmati secangkir kopi dan mendengarkan cerita. Ceritanya lebih lebay dari postingan ini. Yakin. Saya harap Anda tak perlu penasaran.

Balik ke topik...

Diwisuda adalah tujuan dari kuliah. Kalau Anda sepakat dengan pernyataan ini, lanjut lah membaca. Kalau tidak sepakat, saya perlu meyakinkan Anda untuk tidak melanjutkan membaca tulisan selanjutnya. Atau, emm... boleh lah, terserah.

Seperti halnya tujuan hidup. Tujuan hidup adalah untuk mati (atau menyelesaikan masa hidup). Kuliah pun sama. Tujuan kuliah adalah untuk menyelesaikan perkuliahan. Lihatlah saat orang meninggalkan dunia. Jasadnya mendapatkan upacara/ritual untuk mengantarkan mereka meninggalkan dunia. Kuliah? Mahasiswa diwisuda menggunakan toga dalam upacara penyerahan ijazah. Status mahasiswanya telah selesai.

Mungkin sesingkat diatas untuk saya memberikan analogi. Lain waktu mungkin dapat sharing tetapi saya menolak untuk berdebat. Saya yakin, masing-masing orang punya pemikiran yang berbeda. Dan berimbas kepada jalan kehidupannya yang berbeda pula. Saran saya, jangan terlalu dianggap serius kalau ada yang berbeda pemahaman dengan Anda.

Mungkin setelah membaca tulisan diatas akan muncul pertanyaan "Lalu, bagaimana masa depan mahasiswa yang punya jawaban mulia dengan jawaban 'mewujudkan impian Mama saya?'" Kata Wiz Khalifah sih : damn, who knows?

Salam,
Mahasiswa calon sarjana pendidikan yang punya mimpi jadi pengusaha kuliner.