Sore hari aku di warung kopi bersama dua orang teman. Aku sedang menghabiskan segelas kopi aceh arabika dan sebatang rokok produksi pabrik lokal yang di tengah-tengah jari tengah dan jari telunjuk. Ku hisap rokok yang dilanjut menyeruput kopi, kemudian ku semburkan asapnya dengan pelan dan halus. Aku selalu melakukan hal demikian secara berulang-ulang sampai rokok benar-benar tidak bisa dinikmati hisapannya. Sampai rokok ku matikan diatas asbak kaca berbentuk kotak.
Aku memalingkan pandangan ke arah pintu warung kopi ketika aku dan dua temanku selesai ngobrol dan saat mereka membalas chat di handphone-nya. Dari tempat dimana aku duduk sekitar 6 meter sampai pintu, ku lihat kamu menggunakan kaos hitam dengan jaket denim berwarna abu-abu pudar, celana jeans biru, dan sepatu skate berwarna putih. Ku lihat kamu seorang yang santai. Kacamata lensa bening dengan frame berwarna hitam menghiasi rambut depanmu yang terbelah sampai ke bagian atasmu. Dan rambut bagian belakang yang hanya sampai pundak mengurai. Kamu berjalan santai melewati pintu dengan dua orang di sebelah kananmu. Aku anggap kedua orang itu adalah temanmu. Kamu berjalan tepat di sebelah kiriku. Aku terus memandang ke arahmu, dengan sekejap matamu mendapati mataku. Aku sangat tidak ahli dalam menggambarkan wajah seseorang termasuk wajah yang ku maksud ini. Badanku membelakangimu saat kamu berjalan menuju kasir untuk memesan sesuatu.
30 detik kemudian aku melirik ke belakang, ke arahmu. Kamu masih melihat-lihat ke daftar menu.
Sekitar satu menit, kamu lepas dari kasir. Kamu bersama dua orang berkerudung memandangi tempat duduk kosong. Ku lihat temanmu yang berkerudung hitam menunjuk meja kosong di ujung ruangan. Satunya lagi temanmu yang berkerudung navy pergi ke dalam. Ku tebak dia ke kamar kecil. Kamu dan cewek berkerudung hitam pun memilih 1 meja dan 4 kursi. Kamu memilih posisi duduk yang membelakangiku. Begitu pun temanmu.
Kesal...
Ku sruput kopi. Ku lihat kedua temanku masih sibuk dengan handphone-nya. Satu masih membalas chat dengan wajah bahagianya dan yang satu buka-buka foto di Instagram.
Ku ambil handphone-ku. Nggak ada pesan atau pemberitahuan apapun. Biasa. Ku buka Instagram. Ku lihat beberapa foto yang ada di tab home dan tab aktivitas - following. Selesai, keluar Instagram. Ku buka TweetCaster Pro, aplikasi twitter di handphone. Ku lihat ada 100 tweet di timeline yang belum dibaca. Aku baca satu per satu dari tweet yang paling lama (20 menit yang lalu) sampai tweet yang paling baru (49 detik yang lalu). Nggak ada yang menarik untuk di-retweet atau di-reply. Keluar dari aplikasi TweetCaster Pro dan ku letakkan handphone di sebelah bungkus rokok sampoerna mild. Ku lihat teman-teman masih sibuk dengan handphone-nya.
Ku curi pandang ke arahmu. Kamu masih duduk membelakangiku. Temanmu yang berkerudung navy sudah bergabung denganmu. Dia memposisikan duduk berhadapan denganmu.
Ku lirik temanmu yang berkerudung navy. Sekilas. Bahkan aku nggak dapat balas lirikan oleh temanmu. Lesu.
Salah satu temanku membuka obrolan. Cerita tentang salah satu akun di Instagram yang dia follow. Akun cewek. Cantik. Paling tidak terlihat cantik di foto-foto Instagram-nya. Karena diantara teman-temanku belum ada yang melihatnya langsung. Aku dan teman-teman mulai mengeluarkan suara. Ngobrol lagi.
Lagi-lagi aku melirik ke kiri, ke arah kamu yang masih membelakangiku. Terlihat pelayan sedang menurunkan 1 gelas coklat dingin, 1 gelas jus alpukat, 1 botol air mineral, dan 1 mug yang berisi 'sepertinya' coklat panas. Sepertinya kamu memesan coklat panas dan air mineral. Pelayan tersebut kemudian pergi. Aku masih memandang bagian belakangmu yang tadi sudah aku pandang bagian depan. Aku ingin melihat bagian depanmu lagi. Melihat wajahmu lagi. Berharap kita saling memandang. Kenyataannya sulit kecuali aku mendekatimu dan berkenalan langsung.
Aku sudah punya pikiran kalau kamu nggak bakal melirik ke belakang---sampai benar-benar kamu pergi dari warung kopi. Ku sambung obrolan dengan teman-temanku.
Tapi aku tetap penasaran. Ku ingin melihat mukamu lagi.
Lagi, aku melirikmu. Tentunya yang masih terlihat bagian belakangmu. Kamu nggak pernah menengok ke belakang. Ku lirik teman yang ada di depanmu.
Satu kali...
Dua kali...
Tiga kali...
Empat kali...
Lima kali...
Aku melirik kamu dan temanmu. Berharap temanmu ada yang menyadarkanmu kalau kamu sedang diperhatikanku. Kadang aku menghiraukan obrolan teman-temanku. Aku lebih sibuk melirikmu.
Enam kali...
Tujuh kali...
Time is up...
Sepertinya teman yang berkerudung navy memberi tahumu. Aku langsung berpaling dan memandang teman-temanku. Aku berusaha menyambung obrolan dengan teman-temanku dengan berharap kamu melirik ke arahku. Aku mendapati 'angle' ke depan dengan jangkauan komposisi aku bisa melihatmu. Tetapi kamu masih nggak melirik ke arahku.
Semenit...
Dua menit...
Ada sekitar 6 orang keluar dari dalam warung kopi menuju pintu keluar. Rombongan itu mencuri perhatian orang-orang yang ada di warung kopi. Salah satu dari rombongan tersebut ada yang menjatuhkan handphone-nya. Aku sekilas melirik orang yang menjatuhkan handphone.
Tapi kemudian aku mencuri pandang. Memandangmu. Kamu terlihat menengok ke belakang. Melihat orang yang menjatuhkan handphone. Dan kamu memandangku. Kita saling memandang. Sepintas. Dan kamu langsung menghadap ke depan.
Sekarang kamu tahu, aku adalah orang yang sering memandangmu---melirikmu. Aku senang tapi tidak cukup bahagia. Kamu melirikku dibalik kaca matamu. Aku yakin kamu memandangku.
Sial. Aku nggak punya keberanian untuk mendekatmu. Dengan situasi seperti ini aku merasa nggak bisa mendekatmu. Sekalipun kamu adalah artis FTV idolaku, aku nggak mungkin mendekatimu untuk meminta tanda tangan dan foto bareng. Ini situasi yang rawan salting bagiku.
Ku kumpulkan rasa berani untuk berkenalan denganmu. Ku pikirkan segala cara untuk berkenalan. Paling tidak aku tau akun instagram dan twitter-mu. Atau sesuatu yang dapat membuat ku mengikuti kehidupanmu. Sesuatu yang update tentangmu. Path, mungkin? Tak masalah.
Aku masih sibuk melirik ke arahmu. Secara tiba-tiba ku ambil handphone di atas meja. Aku beranjak dari tempat ku duduk. Berjalan ke arahmu. Temanmu memandang ku mendekatimu. Aku berdiri di belakangmu. Aku melihat kamu meminum coklat menggunakan sendok. Aku masih berdiri di belakangmu.
Temanmu memberi kode menggunakan matanya. Aku paham kodenya. "Lirik ke belakang" begitu kira-kira arti dari kode yang diberikan temanmu. Kamu melirik aku yang sedang berdiri di belakangmu. Sekilas. Lalu kamu meminum kembali coklat menggunakan sendok.
Sedetik...
Dua detik...
Tiga detik...
Empat detik...
Aku masih berdiri di belakangmu tanpa mengeluarkan suara.
Lima detik...
Enam detik...
Kamu melirikku dan mengeluarkan suara "aku nggak bisa telepati, mas"